Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXXIII (MISA YUBILEUM ORANG MISKIN - HARI ORANG MISKIN SEDUNIA IX) 16 November 2025

Bacaan Ekaristi : Mal. 4:1-2a; Mzm. 98:5-6,7-8,9a,9bc; 2Tes. 3:7-12; Luk. 21:5-19.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari-hari Minggu terakhir tahun liturgi mengundang kita untuk melihat akhir sejarah. Dalam Bacaan Pertama, Nabi Maleakhi melihat kedatangan "hari Tuhan" sebagai awal dari sebuah era baru. Hari itu digambarkan sebagai waktu Allah, ketika, bagaikan fajar yang memancarkan surya kebenaran, pengharapan orang-orang miskin dan rendah hati akan menerima jawaban akhir dan definitif dari Tuhan, dan perbuatan orang fasik serta ketidakadilan mereka, terutama terhadap orang-orang yang tak berdaya dan miskin, akan ditumpas dan dibakar seperti jerami.

 

Surya kebenaran yang terbit ini, sebagaimana kita ketahui, adalah Yesus sendiri. Hari Tuhan, sesungguhnya, bukan hanya hari terakhir sejarah; hari Tuhan adalah semakin mendekatnya Kerajaan Allah bagi setiap orang dalam kedatangan Putra Allah. Dalam Bacaan Injil, dengan menggunakan bahasa apokaliptik yang khas pada zaman-Nya, Yesus mewartakan dan menginagurasikan Kerajaan ini. Dia sendiri adalah kuasa Allah, yang hadir dan berperan aktif dalam peristiwa-peristiwa dramatis sejarah. Peristiwa-peristiwa ini hendaknya tidak menakutkan para murid, melainkan memampukan mereka untuk bertekun dalam kesaksian mereka, karena mereka tahu bahwa janji Yesus selalu hidup dan setia: "Tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang" (Luk. 21:18).

 

Saudara-saudari, kita berlabuh dalam pengharapan ini, terlepas dari peristiwa-peristiwa kehidupan yang terkadang malang. Bahkan dewasa ini, "dengan mengembara di antara penganiayaan dunia dan hiburan yang diterimanya dari Allah Gereja maju. Gereja mewartakan salib dan wafat Tuhan, hingga Ia datang" (Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, 8). Dan ketika segenap pengharapan manusia tampaknya padam, keyakinan ini, yang lebih teguh daripada langit dan bumi, menjadi semakin kuat, karena Tuhan tidak akan membiarkan sehelai pun dari rambut kepala kita hilang.

 

Di tengah penganiayaan, penderitaan, pergumulan, dan penindasan dalam kehidupan pribadi kita dan dalam masyarakat, Allah tidak meninggalkan kita. Ia menyatakan diri-Nya sebagai yang berada di pihak kita. Kitab Suci dijalin dengan benang emas yang menceritakan kisah Allah, yang selalu berpihak kepada orang kecil, anak yatim, pendatang, dan janda (bdk. Ul. 10:17-19). Dan dalam Yesus, Putra-Nya, kedekatan Allah mencapai puncak kasih. Karena itu, kehadiran dan sabda Kristus menjadi kegembiraan dan yubileum bagi orang yang paling miskin, karena Ia datang untuk mewartakan kabar baik kepada orang-orang miskin dan memberitakan tahun rahmat Tuhan (bdk. Luk 4:18-19).

 

Secara istimewa hari ini kita juga sedang berpartisipasi dalam tahun rahmat ini, saat kita merayakan Yubileum Orang Miskin pada Hari Orang Miskin Sedunia ini. Selagi seluruh Gereja bergembira dan bersukacita, khususnya kepadamu, saudara-saudari terkasih, saya ingin mewartakan sabda Tuhan Yesus sendiri yang tak terbantahkan: "Dilexi te, Aku mengasihi engkau" (Why 3:9). Ya, di hadapan kekecilan dan kemiskinan kita, Allah memandang kita tiada taranya dan mencintai kita dengan kasih yang kekal. Dan Gereja-Nya, bahkan hingga saat ini, mungkin khususnya di zaman kita, yang masih terluka oleh bentuk kemiskinan lama dan baru, berharap untuk menjadi "bunda orang miskin, tempat penyambutan dan keadilan" (Seruan Apostolik Dilexi Te, 39).

 

Sangat banyak bentuk kemiskinan menindas dunia kita! Pertama dan terutama adalah bentuk-bentuk kemiskinan materi, tetapi ada juga banyak situasi kemiskinan moral dan spiritual, yang seringkali memengaruhi orang muda dengan cara tertentu. Tragedi yang melanda mereka semua adalah kesepian. Kita ditantang untuk memandang kemiskinan secara menyeluruh, karena meskipun terkadang memang perlu untuk menanggapi kebutuhan mendesak, kita juga harus mengembangkan budaya perhatian, justru untuk meruntuhkan tembok kesepian. Maka, marilah kita memperhatikan sesama, setiap orang, di mana pun kita berada, di mana pun kita tinggal, menularkan sikap ini dalam keluarga kita, menghidupinya di tempat kerja dan lingkungan akademis, di berbagai komunitas, di dunia digital, di mana pun, menjangkau mereka yang terpinggirkan dan menjadi saksi kelembutan Allah.

 

Dewasa ini, skenario perang, yang sayangnya terjadi di berbagai wilayah di dunia, tampaknya semakin menegaskan bahwa kita berada dalam kondisi ketidakberdayaan. Namun, globalisasi ketidakberdayaan muncul dari sebuah kebohongan, dari keyakinan bahwa sejarah selalu seperti ini dan tidak dapat diubah. Bacaan Injil, di sisi lain, mengingatkan kita bahwa justru dalam pergolakan sejarahlah Tuhan datang untuk menyelamatkan kita. Dan dewasa ini, sebagai komunitas kristiani, bersama orang miskin, kita harus menjadi tanda yang hidup keselamatan ini.

 

Kemiskinan menantang umat kristiani, tetapi juga menantang semua orang yang bertanggung jawab dalam masyarakat. Saya mendesak para kepala negara dan para pemimpin bangsa untuk mendengarkan jeritan orang yang paling miskin. Tidak akan ada perdamaian tanpa keadilan, dan orang miskin mengingatkan kita akan hal ini dalam banyak cara, melalui migrasi maupun melalui jeritan mereka, yang seringkali diredam oleh mitos kesejahteraan dan kemajuan yang tidak mempertimbangkan semua orang, dan justru melupakan banyak individu, membiarkan mereka menghadapi nasib mereka sendiri.

 

Kepada para pekerja amal, begitu banyak relawan, dan orang-orang yang berupaya meringankan beban hidup orang-orang yang paling miskin, saya menyampaikan rasa terima kasih, sekaligus mendorong untuk terus menjadi suara hati yang kritis bagi masyarakat. Kamu semua tahu betul persoalan orang miskin berpangkal pada hakikat iman kita, karena mereka adalah daging Kristus sendiri dan bukan sekadar kategori sosiologis (bdk. Dilexi Te, 110). Karena itulah, “Gereja, bagaikan seorang ibu, mendampingi mereka yang sedang berjalan. Di mana dunia melihat ancaman, ia melihat anak-anak; di mana tembok dibangun, ia membangun jembatan” (idem, 75).

 

Marilah kita semua bersatu dalam komitmen ini. Sebagaimana ditulis Rasul Paulus kepada umat kristiani di Tesalonika (bdk. 2Tes. 3:6-13): sambil menantikan kedatangan Tuhan yang mulia, kita tidak boleh hidup tertutup, dalam keterasingan religius yang mengasing kita dari sesama dan sejarah. Sebaliknya, mencari Kerajaan Allah menyiratkan keinginan untuk mengubah hidup berdampingan manusiawi menjadi ruang persaudaraan dan martabat bagi semua orang, tanpa terkecuali. Selalu ada bahaya hidup seperti pendatang yang kehilangan arah, tidak peduli dengan tujuan akhir dan pada orang-orang yang ambil bagian dalam perjalanan bersama kita.

 

Dalam Yubileum Orang Miskin ini, marilah kita terinspirasi oleh kesaksian para kudus yang melayani Kristus dalam diri orang-orang yang paling membutuhkan dan mengikuti-Nya di jalan kerendahan hati dan penyangkalan diri. Secara khusus, saya ingin menyebut Santo Benediktus Joseph Labre, yang hidup sebagai "pengembara Allah", mencirikannya sebagai santo pelindung para tunawisma. Perawan Maria, melalui Magnificat-nya, terus mengingatkan kita akan pilihan-pilihan Allah dan telah menjadi suara bagi orang-orang yang tak bersuara. Semoga Maria membantu kita merangkul cara berpikir baru Kerajaan Allah, sehingga dalam kehidupan kristiani kita, kasih Allah, yang menyambut, membalut luka, mengampuni, menghibur, dan menyembuhkan, senantiasa hadir.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 16 November 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.